IDI dan Polemik Rancangan Undang-Undang Kesehatan: Suara Profesi di Tengah Kontroversi
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memainkan peran yang sangat vokal dan krusial dalam polemik seputar Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan) yang kini telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023. RUU Kesehatan ini, yang menggunakan pendekatan omnibus law, menggabungkan berbagai regulasi kesehatan yang sebelumnya terpisah, memicu gelombang kontroversi dan penolakan dari berbagai organisasi profesi kesehatan, termasuk IDI.
Suara Penolakan dan Alasan Utama IDI
IDI, bersama dengan organisasi profesi kesehatan lainnya seperti Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), secara tegas menyatakan penolakan terhadap RUU Kesehatan sejak awal perumusannya. Beberapa alasan utama penolakan IDI adalah:
- Minimnya Partisipasi Organisasi Profesi: IDI menyoroti bahwa penyusunan RUU Kesehatan ini dilakukan tanpa melibatkan partisipasi yang berarti dari organisasi profesi, padahal mereka adalah representasi formal dari profesi dokter yang akan secara langsung terdampak oleh legislasi ini. Kurangnya pelibatan ini dianggap menyalahi prinsip partisipasi publik bermakna dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
- Marginalisasi Peran Organisasi Profesi: RUU Kesehatan dinilai oleh IDI berpotensi memfragmentasi dan mengamputasi peran organisasi profesi yang selama ini diamanatkan oleh undang-undang sebelumnya. Salah satu poin krusial adalah penghapusan rekomendasi organisasi profesi dalam penerbitan Surat Izin Praktik (SIP) dokter. Sebelumnya, rekomendasi ini berfungsi sebagai salah satu indikator bahwa dokter memiliki etika dan moral yang baik.
- Ancaman Kriminalisasi Tenaga Medis dan Kesehatan: IDI mengkhawatirkan bahwa RUU Kesehatan tidak memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi tenaga medis dan kesehatan. Mereka berpendapat bahwa tanpa jaminan imunitas hukum yang kuat, dokter dan tenaga kesehatan dapat dengan mudah terjerat masalah hukum dalam menjalankan praktik profesinya.
- Penghapusan Mandatory Spending Kesehatan: Salah satu poin kontroversial lainnya adalah penghapusan ketentuan mengenai mandatory spending atau alokasi anggaran wajib untuk kesehatan dari APBN dan APBD. IDI berpendapat bahwa ini berpotensi mengurangi komitmen anggaran untuk sektor kesehatan dan menghambat program strategis kesehatan.
- Liberalisasi Tenaga Kesehatan Asing: RUU ini juga dikhawatirkan IDI akan mempermudah masuknya tenaga kesehatan asing dengan persyaratan yang lebih longgar, yang berpotensi menimbulkan persaingan tidak sehat dan masalah adaptasi bahasa serta budaya.
- Isu Pendidikan Spesialis: IDI juga menyuarakan kekhawatiran terkait sistem pendidikan dokter spesialis yang berpotensi berubah menjadi hospital-based, yang dianggap belum siap dari segi infrastruktur dan kurikulum.
Aksi dan Upaya IDI
Menyikapi polemik ini, IDI telah melakukan berbagai upaya:
- Aksi Demonstrasi dan Penolakan Publik: IDI bersama organisasi profesi kesehatan lainnya beberapa kali menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di depan Gedung DPR RI sebagai bentuk protes dan penolakan terhadap pengesahan RUU Kesehatan.
- Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi (MK): Setelah RUU Kesehatan disahkan, IDI bersama sejumlah individu dan organisasi mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji konstitusionalitas pasal-pasal yang dianggap bermasalah dalam UU Kesehatan yang baru. Mereka mempersoalkan, antara lain, penghapusan kolegium dan peran organisasi profesi.
- Penyampaian Masukan dan Kritik: Meskipun merasa tidak dilibatkan secara optimal, IDI tetap menyampaikan masukan, kritik, dan pandangan profesional mereka kepada pemerintah dan DPR selama proses pembahasan RUU.
Peran Suara Profesi di Tengah Kontroversi
Polemik RUU Kesehatan ini menyoroti peran krusial organisasi profesi seperti IDI sebagai penjaga marwah dan standar profesi. IDI tidak hanya menyuarakan kepentingan anggotanya, tetapi juga berargumen bahwa perubahan-perubahan dalam UU Kesehatan tersebut berpotensi berdampak luas pada kualitas pelayanan kesehatan dan sistem kesehatan nasional secara keseluruhan.
Meskipun pemerintah berdalih bahwa UU Kesehatan yang baru ini bertujuan untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan, mempercepat pemenuhan dokter spesialis, dan mempermudah layanan kesehatan, IDI tetap berpegang pada prinsip bahwa setiap regulasi harus disusun dengan partisipasi yang inklusif dan berdasarkan kajian mendalam agar tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari.
Kontroversi RUU Kesehatan ini menunjukkan dinamika kompleks antara pemerintah yang berambisi melakukan reformasi sistem kesehatan dan organisasi profesi yang merasa memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk menjaga kualitas serta integritas profesi yang mereka wakili. Saat ini, perjuangan IDI terus berlanjut melalui jalur hukum di Mahkamah Konstitusi, sebagai upaya terakhir untuk memastikan bahwa suara profesi didengar dan dipertimbangkan dalam kebijakan kesehatan nasional.
Comments